
The Martyr
“Alasan kebenaran berada di tempat yang tidak terlihat oleh mata, adalah karena kebenaran itu tidak ingin memperlihatkan wujudnya.”
Kemunculan sekte sesat mengguncang seantero Korea Selatan dengan mengatakan dunia akan kiamat… pada akhir bulan Oktober 1992.
Kim Ki-joon, wartawan yang kerap memeras dan membuntuti para selebritas demi membayar perawatan anaknya pascainsiden tabrak lari. Begitu mengetahui Sugyeong, istrinya, terjerembap ke dalam ajaran sekte sesat itu, dia segera menyelidiki sekte tersebut. Di sanalah, Ki-joon bertemu dengan Lee Seon-min, seorang anak perempuan yang dapat melihat masa depan.
Namun nalurinya sebagai mantan wartawan sosial-politik, Ki-joon mengendus adanya skandal besar dan penggelapan uang 1 miliar won dalam sekte itu. Lee Seon-min meminta Ki-joon untuk menemukan “kebenaran” yang tidak terlihat, tapi harus dia ketahui.
Dalam waktu kurang dari tiga minggu sebelum terjadinya “kiamat” yang diramalkan, dapatkah Ki-joon menguak persengkongkolan dalam sekte tersebut? Apakah “kebenaran” yang sangat ingin diketahui Lee Seon-min itu?
Author | : | Choo Jong-Nam |
Price | : | Rp 145,000 |
Category | : | MYSTERY & THRILLERS |
Page | : | 452 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13.5 cm X 20 cm |
ISBN | : | 9786230410253 |
Publication | : | 07 December 2022 |
Kegelapan memenuhi seluruh penjuru ruang tunggu. Terdengar nyanyian para jemaat dari dalam kapel, meninggi dan membahana. Tirai-tirai tebal di sisi ruangan pun ikut bergoyang-goyang.
Oh, I’m travelling on the hallelujah line. On the good old gospel train. I am on the right track, and never will go back to the station of sin again. I need no fare, I’m riding on a pass, This is the blood for sinners slain. I am travelling on the hallelujah line. On the good old gospel train.
“Kakak pemain piano kan sudah bilang jangan bernyanyi seperti berteriak, tapi mereka masih saja bernyanyi seperti itu!”
Radio portabel yang sejak tadi menempel di telingaku, kini kukempit di ketiakku. Seperti yang diajarkan oleh kakak pemain piano, menyanyi itu harus dengan “suara yang riang” dan “intonasi yang jelas”. Oh, I’m travelling on the hallelujah line, on the good old gospel train. Kedua tanganya yang saling menggenggam diletakkan di bawah pusar, badan bergerak naik dan turun, tatapannya melirik ke samping. Kak Je-hoon, kakak laki-lakiku, menunduk dan menatapku kosong, kemudian mendekat ke ketiakku. Walaupun belum berkata sepatah kata pun, aku tahu dia akan mengoceh, “Terlalu berisik, aku sampai tidak bisa mendengar apa-apa!”
Namun, Kak Je-hoon justru berseru, “It’s show time!” Jarinya menunjuk ke tirai, kain tebal itu sedari tadi belum berhenti bergoyang-goyang. Itu pertanda nyanyian para jemaat naik lebih tinggi satu tingkat. Entah bagaimana, tiba-tiba irama dan melodinya buyar. Ketika lagu itu sudah tidak terdengar harmonis, yang tersisa hanyalah para jemaat yang meneriakkan liriknya “Oh, I’m travelling on the hallelujah line.” Itulah saat bagi kami untuk bersiap-siap keluar.
“Bukankah sekarang waktunya kita berdoa? Kakak nanti bisa dimarahi lagi oleh Pak Pendeta.”
Aku menatap Kak Je-hoon yang masih berfokus memperhatikan gerakan tirai. Aku perlahan meletakkan radio portabel dari ketiak. Menyadari aku menatapnya, Kak Je-hoon melipat kedua tangannya sebelum berbalik. Dia kembali menatapku, kedua bola matanya terbeliak.
“Hanya waktu berdoa... benda ini jadi terlalu berat. Aku khawatir aku tidak bisa tumbuh tinggi kalau terus membawa benda berat ini!”
“Aku bahkan tidak mengatakan apa pun. Kenapa sejak tadi kau berlebihan sekali, Adikku?”
“Kalau begitu aku boleh duduk diam di sini, kan?” Kak Je-hoon mengangkat kedua bahunya seolah berkata “terserah-kau-saja”.

Choo Jong-Nam
RECOMMENDED FOR YOU Explore More


