Kemarau di Sedanau
Salman, seorang remaja di Sedanau, Natuna, berkeinginan menjadi dokter untuk mengubah hidupnya agar lebih baik. Satu-satunya cara adalah dengan lolos beasiswa PEMDA Natuna dan menjalani pendidikan kedokteran yang panjang dan berat. Ia pun harus merantau ke luar pulau, meninggalkan keluarga, dan juga tambatan hatinya, Hamidah. Dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran itu tak mudah ia lewati bahkan membuatnya jatuh ke jurang depresi yang dalam karena menghadapi berbagai peristiwa besar yang membuat hidupnya berada di titik nadir. Mampukah ia mewujudkan cita-citanya dan menghapus kemarau di Sedanau? Sanggupkah ia bangkit dari keterpurukan yang bertubi-tubi mendera?
Author | : | Asroruddin Zoechni |
Price | : | Rp 129,000 |
Category | : | FICTION,ROMANCE |
Page | : | 320 halaman |
Format | : | E-Book |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230416484 |
Publication | : | 10 December 2023 |
Dokter...
Ia bagai bintang yang berkilauan, tapi tak kuasa tuk digapai. Namun sinarnya yang menyapa Bumi, adalah sebuah harapan bahwa hanya kekuatan yang dapat menyentuhnya. -- Salman Adiputra
***
Ranai, Oktober 2019
Salman mengendarai mobil dinasnya yang berwarna hitam. Ia baru saja kembali dari dermaga Penagi, tempat pompong, sejenis kapal motor, merapat dari pulau-pulau kecil di sekitar Ranai. Lelaki muda itu baru mengelap tangannya yang penuh dengan serbuk putih, setelah melepaskan sarung tangan berbahan latex. Ia baru saja membantu proses kelahiran bayi, di mana si ibu sudah mengalami pembukaan lengkap sesaat setelah pompong menyentuh bibir dermaga. Bayi dan ibu pun selamat, dan dijemput oleh ambulance yang berada di depannya, menuju ruang rawat RSUD.
Kini di hadapannya tampak kelap-kelip lampu mobil ambulans terparkir di depan Instalasi Gawat Darurat, menembus kelam malam. Sunyi, kecuali suara jangkrik yang terdengar dan bunyi tokek mengetuk-ngetuk dinding. Di dalam mobil tampak beberapa orang perawat dan bidan yang sibuk menurunkan pasien dengan brankar, menuju ruang periksa PONEK, ruangan untuk pelayanan kegawatan kebidanan dan janin. Pasien perempuan muda yang tergeletak di atas tandu itu mengeluh dan berteriak kesakitan, sambil memegang puncak perutnya yang besar. Ia ingin segera melahirkan janin yang dikandungnya.
Salman tak mendekat dan tak menyaksikan pemandangan yang membuat perih itu, tetapi radar pikiran sekaligus hatinya mulai merasa mengenali sosok perempuan itu hanya dari suara sayup-sayup erangan rasa sakit. Tapi, ia urung mendekati IGD dan memutuskan untuk merebahkan tubuh dan merilekskan pikirannya yang letih.
“Sabar ye, Bu. Sambil istighfar, Bu,” pinta seorang bidan dengan logat Melayu Riau yang kental. Serupa dengan logat negeri jiran, Malaysia.
“Sebentar lagi kite masok ke dalam,” tambah seorang dokter jaga shift malam, lengkap dengan jas putih dan stetoskop melengkung di lehernya yang tadi menjemputnya dalam ambulans.
Perempuan itu menarik napas dalam kemuian mengeluarkannya, berkali-kali. Bibirnya pun tak luput dari gigitan gigi-giginya. Sesekali ia terpejam, menahan sakit. Tubuhnya tampak lemah, kehabisan energi. Matanya sayu, antara sadar dan tidak. Ujung-ujung kakinya dingin bagai es. Ia hampir pingsan saat brankar sudah di depan pintu masuk IGD.
“Cepat! Cepat sikit! Bawa masok segera! Sudah hampir pingsan, tuh!” perintah perawat, Kepala IGD.
Suasana hening di ruang itu pun berubah riuh. Semua sigap menyambutnya. Bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya tegak berdiri, tapi dengan raut muka cemas. Tak ada sedikit pun senyum menyembul dari wajah mereka, melainkan wajah serius dan tegang. Suara yang terdengar hanya kalimat-kalimat istighfar sayup-sayup dan berbait doa dalam hati mereka.
“Dari Sedanau ye? Bunguran Barat? “ tanyanya kepada yang mengantar. Perempuan itu dirujuk dari Puskesmas di Pulau Sedanau, sebelah barat daya Pulau Natuna. Mereka berangkat dari sana menggunakan pompong, selama hampir satu setengah jam. Dari Puskesmas mereka butuh waktu menyeberangi perairan dengan pompong selama 45 menit di malam gelap, lalu merapat di Pelabuhan Binjai, Natuna. Dilanjutkan dengan menggunakan ambulans sekitar 30 menit untuk sampai ke rumah sakit.
“Iye, Bang,” jawab seorang bidan. “Mengidap PEB kah?”
“Iye, Bang. Nyonya Hamidah, 30 tahun. Kehamilan ketige. Anak pertame abortus. Anak kedue lahir hidup. Usia kehamilan 32 minggu. Ade kontraksi uterus yang cukup intensif. Sudah kami masukkan MgSO4 sejak dari sana, Bang,” jelasnya.
“Oke, bagus! Semoga tak kejang, ya! Cepat kite tangani dulu di dalam. Habis itu Dokter Anas akan melaporkan kondisi pasien ke dokter kebidanan kita, Dokter Salman!” perintah perawat dengan nada cepat, tegas dan tanpa jeda. Beberapa kali ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas malam.
Perempuan muda itu mengalami PEB atau preeklampsia berat, suatu gangguan terkait kehamilan berupa tekanan darah tinggi dan gejala lainnya, yang dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Penanganan awal telah diberikan MgSO4 (magnesium sulfat), obat yang menjadi protokol standar penanganan PEB. Perawat dan bidan yang mengantar perempuan itu menyerahkan tugas selanjutnya ke bidan PONEK yang sedang bertugas. Perawat melakukan serah terima berkas pasien, serta membubuhkan tanda tangan masing-masing sebagai bukti pekerjaan. Dokter Anas pun segera memeriksa kondisi pasien. Ia menemukan hipertensi pada ibu tersebut.
Nadinya pun teraba cepat, napasnya juga dalam, hasil pemeriksaan urin pun menunjukkan proteinuria, adanya kandungan protein pada urin akibat gangguan ginjal pada PEB.
“Dokter Anas, pasiennya sudah terpasang dua jalur infus untuk cairan RL, dan sudah didrip MgSO4 sejak dari Puskesmas. Ade lagi yang perlu disiapkan atau diberikan, Dok?”
“Sementara cukup, Kak. Siapkan saja iazepam suppositoria dan iazepam ampul untuk siap-siap. Mudah-mudahan tak ade kejang. Saye nak lapor ke Dokter Salman dulu,” jawab Dokter Anas dengan sigap.
Bu Bidan mengiakan, di dalam ruang IGD yang dingin dan sedikit riuh. Iazepam adalah obat-obat antikejang yang terseia dalam bentuk suppositoria yang bisa dimasukkan lewat dubur, atau bentuk ampul, yang terdapat dalam botol-botol kaca sebesar ruas kelingking. Dokter Anas kemuian mengambil gawainya, dan menghubungi Dokter Salman, satu-satunya dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSUD Natuna di Ranai.
Sepuluh menit berlalu, Salman berada di dalam rumah dinas ketika menerima panggilan telepon dari IGD Rumah Sakit. Dokter Anas, dokter jaga malam, melaporkan kondisi seorang ibu berusia 30 tahun, yang dirujuk dari Puskesmas Sedanau, sekitar satu jam dari Ranai, dengan menumpang pompong, di tengah malam yang gelap gulita. Ibu yang sedang mengandung delapan bulan itu mengalami preeklampsia berat, penyakit pada ibu hamil yang menjadi penyebab utama kematian ibu hamil di seluruh dunia.
“Hamidah dari Sedanau? PEB?” tanyanya dalam hati saat pasien terlaporkan oleh dokter Anas. “Ape betul?? Bukankah ia sudah menetap di Ranai bersama suaminya?”
Pikiran itu bergelayut di dalam benak dokter lajang itu. Di pikiran Salman hanya Hamidah, teman semasa SMA-nya yang tak pernah ia temui lagi sejak lulus SMA. Saat lulus kuliah pun, usahanya untuk menemukan perempuan itu nihil. Hamidah kabarnya bekerja di luar pulau.
“OK, Dok! Segera kita siapkan operasi malam ini juga! Segera hubungi dokter anestesi! Jam berape bisa mulai?” pinta Dokter Salman tegas, dengan logat Melayunya yang juga kental.
Dokter Salman yang tinggal di rumah dinas para dokter dan tenaga kesehatan rumah sakit, yang tak seberapa jauh dari rumah sakit, segera memastikan kondisi Hamidah yang terbaring di IGD. Segera dikenakannya baju seragam putih, lengkap dengan stetoskop yang mengalung di leher, serta sebuah USG Doppler portabel. Daun pintu rumah sempat mencium dinding saat dibuka. Lalu dengan cepat dikuncinya pintu, dan segera melangkahkan kaki dengan kecepatan ganda, bahkan cenderung berlari. Napasnya menderu, debar jantungnya pun terpompa lebih cepat.
“Semoga bukan Hamidah!” gumamnya saat memasuki lorong-lorong rumah sakit yang panjang dan redup.
Tak sampai sepuluh menit, Salman sudah tiba di IGD. Memastikan identitas pasien, lalu memeriksa Hamidah dengan saksama.
“Ibu Hamidah?” tanyanya pada sosok perempuan hamil dengan kerudung biru, yang setengah sadar.
“Ibu Hamidah?” tanyanya lagi lebih keras, untuk memastikan kesadarannya.
Hamidah tersentak dari tidur dangkalnya, yang agak miring ke sebelah kiri, membelakangi pintu.
“Iye, Pak Dokter,” jawabnya lemah.
Hamidah yang tadinya sedikit membelakangi Salman kemuian pelan-pelan memutar tubuhnya. Matanya kemuian perlahan membuka. Cahaya masuk melewati pupil matanya, menyaksikan orang yang baru menyapanya dalam jarak dekat. Sosok yang sangat dikenalnya. Ia tak berubah sejak dulu, hanya tampak sedikit lebih dewasa dengan tubuh yang cukup berisi. Salman dengan jantung yang terus berdebar masih menunggu dengan harap-harap cemas. Apakah betul perempuan ini adalah Hamidah yang ada di pikirannya tadi.
“Bang Salman?” tanyanya sambil menyipitkan mata untuk memastikan ketajaman pandangannya. Cahaya lampu menyilaukan sosok bertubuh atletis dan klimis itu. Hampir saja Hamidah tak mengenalinya.
“Hamidah? Hamidah Husein?” tegas Salman. Salman sumringah dengan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. Ia bagai baru saja menemukan orang yang pernah dicintainya setelah lama tak bersua. Salman pelan-pelan mendekat.
“Iye, Bang. Ini Midah. Abang tugas di sini?” jawab Hamidah, lalu kembali meringis kesakitan memegang perutnya. Namun, Hamidah merasa belenggu jiwanya sedikit demi sedikit terlepas setelah bertemu Salman, orang yang pernah dikaguminya.
“Iye, Midah. Abang tugas di sini. Masyaallah, Midaaah!!” balasnya dengan senyuman lebar. Matanya sedikit terbelalak. Lubang hidungnya yang mancung agak mengembang.
“Sakit, Baaaang!” rintihnya.
“Eh, iya Midah!” Salman tersentak karena rintihan itu. Menggugurkan rasa gembiranya yang mulai bersemi.
“Abang periksa dulu ye.” Ia bergegas berdiri, lalu memeriksa perempuan yang sangat dikenalnya itu.
“Hhmmm… Suamimu, mane, Midah?” tanyanya pelan dan ragu, sambil memeriksa Midah yang kembali terpejam. Sebetulnya Salman merasa berat menanyakan kabar lelaki itu.
“Suamiku lagi dinas di Pekanbaru, Bang. Besok pagi baru tiba di sini,” jawabnya lirih. Hamidah sengaja memejamkan mata agar tangisnya tak terlihat. Jiwanya tiba-tiba terbangun dari pendaman rasa yang tertahan. Ia kembali teringat kenangan bersama Salman, terutama sebelum Salman memutuskan berangkat kuliah ke luar pulau.
“Tapi kemungkinan besar kamu akan dioperasi segera, Midah. Demi keselamatanmu dan janinmu ini. Bedah caesar karena kalau tidak segera dilakukan, kondisi janin, termasuk dirimu bisa memburuk dengan cepat.”
“Astaghfirullah. Kapan, Bang?”
Hamidah masih terpejam, tetapi bulir air matanya tak bisa ditahan untuk keluar. Bercampur antara nyeri, cemas, dan perih mengingat kehidupannya yang sekarang apalagi setelah bertemu Salman. Tapi segera ia seka air matanya yang baru keluar sedikit.
“Paling lambat pagi selepas subuh. Dan aku butuh persetujuan suamimu.”
“Tak bise, Bang, pesawatnya dari Pekanbaru baru nyampai jam 10 pagi.”
“Kalau begitu, kau minta izin dulu. Nanti kau bisa menandatangani sendiri surat persetujuan tindakan operasi. Saksinya boleh dari anggota keluarga lain, ya.”
Hamidah mengiakan. Dari sudut kedua matanya air mata kembali mengalir.
Ia menahan sakit, dan menahan perasaan takut dan cemas sebelum operasi.
Buzzz… buzzz… buzzz…
Bunyi suara USG Doppler yang diletakkan Salman persis di atas puncak perut Hamidah itu cukup kencang terdengar. Kecepatan detakannya 160 kali per menit.
“Insyaallah, janinmu dalam kondisi baik, Midah. Mudah-mudah begini terus sampai ia lahir. Sekarang jangan berpikir macam-macam. Nanti berpengaruh pada janinmu.” Salman menghela napas panjang kemuian melepaskannya. Lega, tapi tetap berhati-hati, karena situasi berubah seketika. Ibu dan janin, atau salah satunya bisa mengalami perburukan dalam hitungan menit, bahkan menyebabkan kematian keduanya.
Hamidah yang penuh kecemasan dan ketakutan bahkan sebelum tiba di IGD, mulai tenang mendengar nasihat Salman. Yang ia pikirkan hanyalah janin dalam kandungannya bisa lahir dengan selamat.
“Kau makan terakhir jam berapa, Midah?”
“Malam jam sembilan tadi, Bang.”
“Oke, berarti kite bise mulai operasi di atas jam 3 subuh, ye. Syaratnya, kamu harus puasa paling lama 6 jam.”
Memikirkan operasi caesar di tengah malam buta membuat perasaan Midah bergantian antara cemas dan tenang. Kehamilan ini sebenarnya tak diharapkan suaminya, tapi Hamidah bersikeras mempertahankannya karena ia tak mau berbuat khilaf.
Anak adalah titipan Allah, pikirnya.
“Sudah, jangan kau pikirkan biaya berobat dan operasi ini. Cukup tenangkan pikiranmu,” imbuh Salman lagi. Ia seakan tahu apa yang dipikirkan Midah.
“Aku tak khawatir semua itu, Bang. Kami sekeluarga ada asuransi dari Pemda. Jadi semua biaya ditanggung.”
“Jadi apa yang menyebabkan kau tampak sakit dan cemas? Adakah hal lain yang mengganggumu selain rasa sakit mau melahirkan?”
“Besok lah aku cerita, Bang. Nunggu bayi ini lahir dengan selamat. Tolong bantu aku, ya, Bang. Bayi ini harus lahir hidup.”
Salman bingung. Adakah masalah lain yang menghinggapi kehidupan Hamidah. Tapi ia langsung menghibur dan menunjukkan senyum terbaiknya. Hamidah di mata Salman tak banyak berubah dari sisi keteguhan dan kekuatan memegang prinsip. Ia tetap punya mental pejuang seperti di SMA dulu. Secara fisik pun ia tidak berubah. Tubuh Hamidah tetap proporsional, bahkan cenderung lebih kurus. Tak ingin berlama-lama memandangi Hamidah, Salman meneruskan pembicaraan.
“Insyaallah, Midah. Aku dan teman-teman di rumah sakit ini akan berjuang memberikan yang terbaik untukmu dan janinmu. Kite serahkan semuanya kepada Allah.”
“Terima kasih, Bang.”
Salman lalu melakukan persiapan operasi. Suasana cukup mencekam di tengah malam yang belum berakhir. Dan itu berlanjut menjadi masa-masa menegangkan saat menunggu operasi dilaksanakan. Menunggu keputusan Tuhan yang terbaik, apakah mereka hidup atau selamat. Kebahagian tentu sudah diharapkan, tapi masih tertunda oleh ke arah mana takdir akan berjalan.
Setelah semua persiapan operasi lengkap, Hamidah yang kini terbaring diiringi riuh roda brankar yang terus berjalan dengan cepat, pasrah dengan merapalkan doa-doa keselamatan. Kini, setengah badannya ke arah tungkai bawah tidak merasakan apa-apa setelah dilakukan anestesi di area pinggul. Operasi cesar oleh dokter Salman Adiputra, SpOG, yang dibalut baju operasi berwarna kehijauan, serasi dengan baju awak yang mendampinginya siap dilakukan.
Tak sampai 15 menit, tangis bayi yang sangat kuat memecah keheningan kamar operasi yang dingin dan mencekam. Juga memecah akhir malam menjelang azan Subuh. Semua yang berada di ruang itu berbahagia mendengarnya, tak terkecuali Midah. Rasa syukur dan haru biru menyelimuti perasaannya. Bulir air matanya menetes dengan malu-malu. Sambil menjahit rahim, Salman mengucapkan selamat kepada Midah, berpadu dengan senyumannya yang berhias lesung pipit dan kumis yang tipis.
“Alhamdulillah, anakmu perempuan, Midah. Selamat, ya!” ujar Salman dari balik kain pelindung saat operasi caesar.
“Terima kasih, Dokter Salman, bapak-bapak, dan ibu-ibu tim yang sudah membantu saya,” balasnya lemah.
“Sekarang sudah tuntas semuanya. Tinggal masa pemulihan sekitar tiga hari nanti di bangsal nifas. Suami dan keluarga besarmu pasti senang dengan ini. Segera kabari mereka nanti,” pesan Salman.
“Iye, Bang. Terima kasih.”
Rasa bahagia tak bisa disembunyikan Hamidah menyambut kelahiran bayinya. Ia juga bahagia karena ada Salman, lelaki yang pernah ada di hatinya dulu, membantu proses kelahirannya. Namun, rasa ketakutan di wajahnya juga tampak bergiliran hadir. Terkadang samar dengan rasa sakit luka operasi yang mulai menyerang. Perempuan itu takut menghadapi apa yang akan dilakukan suaminya selepas kelahiran anak terakhir mereka itu. Sebetulnya, Hamidah ingin meminta bantuan Salman memecahkan masalahnya, tapi mulutnya belum mampu membuka.
***