
Eleanor Oliphant is Completely Fine
Tidak ada yang pernah memberi tahu Eleanor bahwa hidup harus lebih dari sekadar baik-baik saja.
Inilah Eleanor Oliphant: dia berjuang dengan keterampilan sosialnya dan cenderung berkata apa adanya. Hidupnya penuh perencanaan demi menghindari kontak manusia yang tidak perlu.
Tapi semua berubah ketika Eleanor bertemu Raymond, rekan divisi IT yang kikuk dan sangat jorok. Ketika dia dan Raymond bersama-sama menyelamatkan Sammy, ketiganya menyelamatkan satu sama lain dari kehidupan isolasi yang mereka jalani.
Raymond membantu Eleanor menemukan cara untuk memperbaiki hatinya yang rusak parah.
Karena pada akhirnya, satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan membuka hatimu.
Author | : | Gail Honeyman |
Price | : | Rp 145,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 416 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13.5 cm X 20 cm |
ISBN | : | 9786230412509 |
Publication | : | 11 October 2023 |
Ketika seseorang—sopir taksi, atau petugas registrasi klinik gigi—bertanya apa pekerjaanku, selalu kujawab “aku pekerja kantoran”. Selama hampir sembilan tahun, tak seorang pun pernah bertanya kantor apa, atau jenis pekerjaan seperti apa yang kulakukan di kantor.
Entah apakah karena aku sesuai dengan gambaran pekerja kantoran, atau mungkin begitu mendengar istilah bekerja di kantor, secara otomatis mereka punya gambaran sendiri—perempuan memfotokopi, lelaki mengetik. Aku tak memper-
soalkan itu. Malah aku senang tidak harus menjelaskan rumitnya pembukuan perusahaan kepada mereka.
Saat pertama kali bekerja di sini, setiap kali ada yang bertanya, aku memberi tahu mereka kalau aku bekerja di perusahaan desain grafis. Mereka langsung beranggapan aku jenis orang kreatif. Sedikit membosankan melihat wajah bengong mereka saat aku menjelaskan aku mengurus administrasi, bukannya menggunakan pulpen berujung tipis atau perangkat lunak canggih.
Usiaku hampir 30 tahun sekarang dan aku sudah bekerja di sini sejak usia 21 tahun. Bob, pemilik perusahaan, menerimaku tak lama setelah kantornya berdiri. Kurasa ia kasihan kepadaku: Seorang sarjana ilmu klasik tanpa pengalaman kerja apa pun, apalagi aku datang dengan mata lebam, beberapa gigi ompong, dan lengan patah.
Mungkin saat itu ia pikir mustahil aku bermimpi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, dan aku akan bertahan lama di perusahaan ini sehingga ia tak perlu repot-repot mencari penggantiku kelak. Mungkin ia juga tahu aku tidak akan mengambil cuti bulan madu, atau cuti melahirkan. Entahlah.
Di kantor berlaku sistem dua tingkat; tim kreatif ibarat bintang film, sedangkan yang lainnya hanyalah artis pendukung. Hanya dengan melihat kami, kau pasti bisa membedakan kami masuk kategori mana. Sejujurnya, itu ada kaitannya dengan urusan gaji. Staf administrasi bergaji rendah, jadi kami hanya mampu memotong rambut seadanya dan memakai kacamata ala kutu buku.
Sementara itu, pakaian, musik, dan gawai para desainer seolah terikat pada keseragaman yang ketat, meskipun mereka sangat berharap bisa dipandang sebagai orang berpikiran bebas dengan ide-ide unik. Aku sama sekali tidak tertarik dengan desain grafis. Aku petugas administrasi keuangan. Aku bisa mengeluarkan faktur untuk apa pun, serius: persenjataan, Rohypnol, kelapa.
Dari Senin sampai Jumat, aku datang pukul 08.30. Istirahat makan siang selama satu jam. Biasanya aku membawa bekal roti isi, tapi seringnya aku kehabisan makanan, jadi sekarang aku membeli sesuatu di jalan. Pada hari Jumat, sepulang kerja aku selalu pergi ke Marks and Spencer, yang menjadi penutup mingguku.
Aku menyantap roti isi di ruang staf dan membaca satu demi satu halaman koran, setelah itu aku mengisi TTS. Aku memilih Daily Telegraph bukan karena aku menyukai koran itu secara khusus, melainkan karena TTS-nya lebih sulit. Aku tidak mengobrol dengan siapa pun—setelah menghabiskan roti isi, selesai membaca koran, dan mengisi dua TTS, satu jam hampir berlalu. Aku kembali ke mejaku dan lanjut bekerja sampai pukul 17.30.
Perjalanan pulang memakan waktu setengah jam. Sampai di rumah, aku memasak makan malam lalu menyantapnya sambil mendengarkan The Archers. Biasanya makan malamku berupa pasta dengan pestodan salad—satu mangkuk dan satu piring. Masa kecilku dipenuhi kontradiksi kuliner, dan selama bertahun-tahun aku menyantap baik makanan segar maupun yang diawetkan.
Setelah banyak mempertimbangkan aspek politis dan sosiologis meja makan, aku menyadari aku sama sekali tidak tertarik dengan makanan. Pilihan makananku haruslah murah, cepat, mudah didapatkan, sekaligus mudah disiapkan, tetapi tetap memberikan nutrisi yang cukup untuk membuat orang bertahan hidup.
Setelah bersih-bersih, aku membaca buku atau kadang menonton TV jika ada siaran yang direkomendasikan koran Telegraph hari itu. Biasanya (yah, selalu), aku mengobrol dengan ibuku pada Rabu malam selama sekitar 15 menit. Aku bersiap tidur sekitar pukul 10, membaca selama sejam, lalu mematikan lampu. Aku tidak kesulitan tidur.
Pada hari Jumat sepulang kerja, aku tidak langsung pulang naik bus, melainkan pergi ke Tesco Metro di ujung jalan kantorku dan membeli piza margherita, Chianti wine, dan dua botol besar vodka Glen. Setiba di rumah, aku melahap piza sambil minum anggur. Setelahnya aku menenggak vodka. Tak banyak yang kubutuhkan pada hari Jumat, hanya beberapa tegukan besar. Biasanya aku terbangun di sofa sekitar pukul 3 dini hari, dan berjalan terhuyung ke kasur. Sisa vodka aku minum sepanjang akhir pekan, membaginya rata di kedua hari itu agar aku tidak mabuk tidak pula sadar. Senin terasa lama sekali.
Teleponku tidak sering berdering. Sekalinya berdering hingga membuatku terlonjak kaget biasanya dari agen asuransi yang menawarkan produk mereka. Aku berbisik “aku tahu di mana kau tinggal” kepada mereka dan menutup telepon dengan amat sangat pelan. Tak ada seorang pun datang ke apartemenku tahun ini selain petugas pemeliharaan gedung. Aku sengaja tidak pernah mengundang manusia lain masuk ke rumahku, kecuali untuk membaca meteran listrik dan air.
Kau pikir itu mustahil? Namun, itulah yang terjadi. Aku memang ada, kan? Kadang rasanya seperti aku tidak ada, bahwa aku hanyalah khayalan imajinasiku sendiri. Ada hari-hari aku merasa hampir tidak terhubung dengan Bumi, bahwa ada seutas tali yang menahanku ke planet ini setipis helaian gulali. Embusan angin kuat bisa membuatku terempas sepenuhnya, dan aku akan terbang melayang seperti bulir-bulir dandelion.
Seutas tali itu sedikit menguat dari Senin hingga Jumat. Orang-orang menelepon kantorku untuk membahas batas kredit, mengirimiku surel tentang kontrak dan perkiraan anggaran. Rekan sekantorku—Janey, Loretta, Bernadette, dan Billy—akan merasa aneh jika aku tidak muncul tanpa ada kabar sakit, sama sekali bukan seperti aku yang biasa. Setelah beberapa hari (aku penasaran akan berapa lama) mereka akan khawatir dan akan mencari tahu alamat rumahku dari data pribadi karyawan.
Kurasa pada akhirnya mereka akan menghubungi polisi, betul, kan? Apakah polisi akan mendobrak pintu depan rumahku? Menemukanku, lalu menutup mulut mereka dengan tangan untuk menahan dorongan muntah karena bau busuk? Kabar itu pasti akan menjadi topik hangat di kantor. Mereka membenciku, tapi tidak benar-benar ingin aku mati. Setidaknya kurasa begitu.


RECOMMENDED FOR YOU Explore More



