Out of Control

Out of Control

17 tahun ke atas
Synopsis

Jezamorc sangat ingin menemukan obat untuk menyem­buhkan Alzheimer yang diidap ibunya, satu-satunya kera­bat yang masih tersisa setelah mega shower menimpa bumi. Dengan kecerdasan yang dimilikinya dan fasilitas dari pemerintah, Jez berkejaran dengan waktu, sebelum seluruh kenangan ibunya menghilang.
Ketika akhirnya Jez mendapatkan apa yang diinginkan, apakah dia rela mempertaruhkan segala hal hanya demi kebahagiaannya sendiri?
Bagaimana dengan nasib umat manusia bila kelak hasil temuannya digunakan secara luas?
Mungkin memang benar kata ibu Jez, bahwa ada beberapa hal yang sebaiknya tak diusik manusia.


Author : N. Betty
Price : Rp 109,000
Category : FICTION,SCIENCE FICTION & FANTASY
Page : 252 halaman
Format : E-Book
Size : 13 cm X 19 cm
ISBN : 9786230413391
Publication : 12 May 2023

“Seandainya kita bisa selamanya seperti ini, ya,” Jez berkata lirih, sambil merebahkan kepala di bahu sang ibu. Wanita berambut pendek yang sudah mulai dihiasi helai-helai berwarna putih itu hanya tersenyum menanggapi kalimat putri semata wayangnya. Selama beberapa saat, mereka berdua duduk di rerumputan, bersandar pada batang besar sebuah pohon rindang di atas bukit yang tenang, memandang hamparan hijau bergelombang yang indah sejauh mata memandang. Benar-benar secuplik pemandangan surga yang diteteskan Tuhan ke bumi.
“Memangnya kamu mau seperti ini terus? Enggak maju-maju. Enggak ada perubahan. Yang perang tetap perang. Yang sakit terus sakit. Enggak kasihan?” Akhirnya Ibu Jez menanggapi.
“Bukan itu maksud Jez, Bu. Perubahan, perkembangan, itu memang sudah seharusnya terjadi. Tapi, kita enggak perlu bertambah tua. Enggak perlu ada yang mati. Enggak usah ada perpisahan. Kita bisa sama-sama terus.” Jez memeluk ibunya gemas. Gadis 21 tahun itu memang sangat dekat dengan kedua orangtuanya. Sebagai anak tunggal yang kehadirannya cukup lama dinantikan, tentu saja hal itu wajar. Apalagi Jez mewarisi kecantikan sang ibu dan kecerdasan sang ayah, membuat kedua orangtuanya makin menganakemaskan Jez.
Di usianya yang belia, dia sudah berhasil meraih gelar sarjana dengan predikat sangat membanggakan. Ke­cerdasannya diakui dengan gelar sebagai wisudawan terbaik kampus ternama. Bahkan, dia langsung melanjut­kan ke jenjang selanjutnya berbekal penelitiannya di bidang Biomolekuler yang menyabet beberapa gelar ber­­gengsi di acara-acara ilmiah internasional. Jezamorc Minns memang benar-benar kombinasi manusia yang lang­ka. Muda, cantik, pintar, dan menyayangi keluarga.
“Kalau sampai itu terjadi, justru menakutkan, Jez. Bayangkan bisa sepenuh apa bumi ini jadinya kalau enggak ada yang mati. Siklus kehidupan memang sudah ditakdirkan seperti itu bukan tanpa tujuan. Ada yang datang, ada yang pergi. Semua harus patuh pada hukum Tuhan yang sudah tertulis. Kalau ada yang terganggu dalam keseimbangan itu, pengaruhnya akan sangat luar biasa. Kamu pasti sudah kenal betul dengan istilah the butterfly effect, kan?” Ibu Jez mengelus kepala anaknya yang kini rebah di atas pangkuan. Jez memang cerdas, tetapi kedewasaan cara pikir dan kematangan emosi adalah hal lain yang tak bisa diajarkan oleh siapa pun.
“Iya, Bu. Jez tahu. Jez cuma berandai-andai. Seandainya kita enggak perlu berpisah selama-lamanya. Jez sayang banget sama Ayah Ibu. Ngebayangin hidup tanpa Ayah Ibu saja sudah bikin Jez sedih banget.” Suara Jez melemah. Keluargaadalah titik paling emosional bagi Jez.
“Kamu enggak perlu khawatir pada hal-hal yang belum terjadi, Nak. Apa gunanya? Ibu dan Ayah kan masih ada di sini. Kamu masih sangat muda. Jalanmu masih sangat panjang. Kamu harus keluar dari sarang, terbang, merentangkan sayapmu selebarnya, melihat dunia sejauh mungkin. Kamu enggak mungkin terus terkungkung di sini, tapi walaupun begitu Ibu dan Ayah akan selalu ada buat tempatmu pulang. Kami akan selalu mendukungmu, mendoakanmu, memelukmu dalam hati kami. Enggak ada yang akan bisa mengubah hal itu.” Seketika Jez bangkit dan memeluk erat ibunya.
“Janji, ya, Bu,” bisik Jez.
“Ibu enggak perlu berjanji. Itu sudah bagian dari job description Ibu. Hanya Tuhan yang bisa membatalkan hal itu.” Ibu Jez menangkup wajah jelita putrinya dalam kedua telapak tangannya yang lembut.
Beberapa saat kemudian, ibu dan anak itu kembali terdiam meresapi keindahan yang terpampang di depan mata mereka. Keindahan dan ketenteraman semacam itu adalah hal yang cukup langka di masa kini. Di saat semua negara berlomba-lomba membangun fasilitas dengan teknologi tercanggih, alam yang masih asli dan asri seperti ini menjadi tempat istimewa di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmatinya. Golongan orang yang memiliki kekayaan, atau kekuasaan, dan beberapa golongan yang mendapat keistimewaan itu sebagai salah satu fasilitas yang diberikan pemerintahan atas sumbangsih mereka pada negara.
Ayah Jez adalah seorang peneliti terkemuka yang direkrut oleh pemerintah Metronesia. Dia telah banyak mene­mukan dan mengembangkan terapi untuk beberapa penyakit yang di abad 20 hingga 21 masih menjadi pembunuh utama. Banyak jenis kanker, penyakit auto­imun, dan HIV telah berhasil ditemukan metode peng­obatan yang efektif. Bahkan banyak macam penyakit menular yang kini telah berhasil dieliminasi dan tak dike­nal lagi namanya. Imunoterapi, rekayasa genetika, hingga terapi sel punca yang telah disempurnakan, sangat banyak membantu masyarakat dan berhasil dipatenkan oleh tim peneliti di tempat Ayah Jez bekerja.
Dari selentingan yang beredar, sepertinya Jez juga akan mengikuti jejak ayahnya. Divisi Riset dan Penelitian telah mengincar Jez untuk bergabung dalam tim mereka, apa pun imbalannya.
“Ayo, kita balik. Ayah pasti sebentar lagi sampai. Ibu mau siapkan makan siang istimewa,” ajak Ibu Jez. Gadis itu mengangguk dan bangkit sambil mengulurkan tangan untuk membantu ibunya berdiri. Jez menggandeng mesra lengan ibunya sambil berjalan menuruni bukit, menuju tempat parkir mobil listrik mereka tak jauh dari sana.
Jez menyetir mobilnya dengan mulus menuju rumah peristirahatan yang menjadi salah satu fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah pada Ayah Jez. Resort luas itu adalah salah satu tempat wisata mewah yang menjadi salah satu tujuan wisata utama Metronesia. Pemandangannya lengkap, mulai dari hutan, gunung, pantai, danau, sawah, gua, sungai, suaka margasatwa, terawat baik dalam wilayah yang sangat luas itu. Bagi sebagian besar orang, hal-hal seperti itu hanya bisa mereka lihat dari buku-buku, tayangan televisi, atau dokumentasi yang beredar di internet. Jika tak punya akses ke fasilitas seperti itu, kehidupan mereka berkutat di seputar keseharian yang sibuk, dari apartemen, ke kantor, menyusuri jalan-jalan yang padat, dikelilingi oleh gedung tinggi, dan bangunan canggih di perkotaan saja.
Tak makan waktu lama, mereka sampai di depan sebuah rumah peristirahatan yang besar dan anggun. Sudah ada sebuah mobil lain yang terparkir di halaman.
“Ayah sudah datang. Sudah lama, Yah?” sambut Jez ketika melihat ayahnya muncul dari dalam rumah.
“Belum. Baru saja, kok. Puas kalian jalan-jalan?” tanya Ayah Jez sambil mengecup lembut pipi Jez dan ibunya bergantian.
“Ibu kira masih agak lama sampainya. Ayah istirahat dulu saja, ya. Ibu siapkan makan siang sebentar.”
“Iya. Ayah lapar, nih. Tadi langsung berangkat begitu urusan di lab beres.” Selama Ayah Jez mengambil cuti tahunan, pekerjaan yang masih harus diselesaikan terpaksa didelegasikan pada rekan kerja yang lain. Sebenarnya tak banyak yang harus dilakukan karena saat ini tim Ayah Jez sedang menunggu hasil dari eksperimen pada hewan coba yang efeknya baru bisa diamati sekitar tiga bulan mendatang. Namun, tetap saja hal itu tak bisa ditinggalkan tanpa penanggung jawab pengganti.
Ibu Jez melangkah ke arah dapur, sementara Jez dan ayahnya duduk di ruang tengah. Dua orang berotak encer itu segera terlibat obrolan seru seputar penelitian rumit yang sama-sama mereka gemari. Keluarga yang hangat. Nyaris ideal, penuh cinta, hampir tak ada cela. Karena itu Jez sangat menyayangi dan mensyukuri anugerah yang dimilikinya itu. Walau tak sereligius ibunya, mau tak mau Jez berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikan semua itu padanya. Namun, bagaimana pun Jez meminta agar Tuhan tak mengambil kebahagiaan itu, dia tak pernah bisa membaca masa depan. Apa yang akan terjadi di masa mendatang, tetap menjadi misteri dan hak Tuhan sepenuhnya tanpa ada satu manusia pun yang bisa mengubahnya.
Serapuh itulah manusia dan kehidupannya.

N. Betty
View Profil

RECOMMENDED FOR YOU Explore More