Lukacita
Lukacita adalah novel yang ditulis oleh seorang penulis wanita muda yang populer di Indonesia, bernama Valerie Patkar. Lukacita ini merupakan novel kelima yang sebelumnya diterbitkan di wattpad, layaknya karya Valerie yang lain berhasil menarik hati banyak orang hingga resmi dirilis dalam bentuk buku oleh penerbit Bhuana Ilmu Populer. Novel yang sudah dibaca lebih dari 1 juta orang di wattpad ini bercerita tentang dua orang pemimpi yang dikhianati oleh cita-cita mereka sendiri.
Lukacita ini ditulis oleh Valerie dengan romansa cerita yang sangat menarik, di samping menarik, hal lainnya ialah cerita di dalamnya mengandung makna yang mendalam. Novel Lukacita dinilai sebagai novel dengan paket lengkap, karena bukan hanya menyuguhkan cerita romance, termasuk di dalamnya juga sarat tentang self improvement, nilai kekeluargaan, dan friendship. Novel Lukacita sangat cocok untuk kalian yang sedang memperjuangkan cita-cita.
Sinopsis:
Untuk mereka yang berhasil menggapai cita-cita, tetapi masih terluka karenanya. Lukacita bercerita tentang para pemimpi yang dikhianati cita-cita mereka sendiri. Ada seorang pendiri perusahaan startup idealis bernama Javier dan seorang mantan atlet catur penakut bernama Utara. Saat mereka hampir menyerah untuk memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan selama ini, mereka bertemu untuk belajar memaafkan keadaan.
Author | : | Valerie Patkar |
Price | : | Rp 129,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 448 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230406935 |
Publication | : | 14 March 2022 |
AGUSTUS 2017,
UTARA
Di depan gedung sekolah gue dulu, ada seseorang yang disebut Abang Safari. Setiap minggu, pasti adaaa aja binatang yang dia jual di gerobak kayu dengan cat warna-warni mentereng. Ada kelinci, anak ayam, ikan mas kecil di dalam plastik bening yang diisi air, sampai keong. Dari semua binatang yang dia jual, gue paling suka keong. Tapi setiap gue bawa pulang ke rumah, keong itu cuma akan bertahan beberapa jam sebelum menghilang—meninggalkan cangkangnya, rumahnya.
Keong itu berani, ya? Dia nggak pernah takut meninggalkan rumahnya meskipun banyak yang bilang dia nggak akan bertahan hidup lama kalau keluar dari cangkang.
Seandainya gue bisa menjadi seberani itu.
“Kami tanya sekali lagi, apa benar kamu ingin keluar dari Percasi1 dan berhenti total dari catur?” Pandangan gue tertuju pada kipas angin yang terus memutarkan porosnya di langit-langit ruangan itu. Sejak kedatangan gue setengah jam lalu, dia sudah berputar 547 kali. “Kamu ini masih muda, baru 22 tahun dan baru lulus kuliah. Anak-anak seumur kamu baru akan mulai mengejar mimpi mereka, tapi kamu malah mau berhenti dari apa yang sudah kamu bangun selama 14 tahun terakhir?”
Pagi ini adalah hari yang terlalu baik untuk menyambut sebuah perpisahan. Udara nggak terlalu panas dan terik, malah sejuk dan dingin. Jalanan protokol ibu kota nggak padat seperti biasa. Angin bertiup kencang dan membuat dedaunan ke kanan dan ke kiri seperti menari-nari.
“Utara Paramayoga?”
“Ya?” Ingatan gue akan pertanyaan mereka agak kabur.
“Kami tanya, apa benar—”
“Iya, bener kok.” Ketenangan hati gue sudah terlatih sejak masa kanak-kanak. “Iya, saya tahu saya masih muda, tapi tadi kalian sendiri bilang, kan? Saya bangun karier 14 tahun. Capek juga, Pak, Bu, belasan tahun melakukan hal yang sama setiap hari. Karena cuma sibuk catur, saya sampai nggak tahu cara masak nasi. Level parahnya udah sampai situ, jadi udah, yah. Keputusan saya udah bulat dari bulan lalu, dan nggak ada yang diubah sampai kapan pun. Jangan dipanggil-panggil lagi, jangan ditanya lagi.” Emosi harus tersisih saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Alangkah baiknya kalau gue bisa terdengar lebih santun tadi.
Ada tiga orang—satu perempuan dan dua laki-laki—di sini. Ketiganya mengenakan kemeja putih yang dibalut dengan jas dan blazer hitam yang rapi. Karakteristik wajah para pengurus di bidang hukum dan disiplin Percasi memang selalu menegaskan integritas. Tatapan mata mereka penuh dengan rencana matang, dengan ambisi yang meletup-letup. Yang sedikit berbeda hanya dengung pertanyaan di kepala mereka akan penjelasan gue yang nggak masuk akal.
“Apa sudah benar-benar tidak ada keinginan dari Saudari untuk tetap di catur?”
“Nggak ada.” Sebuah akhir singkat untuk perjalanan selama 14 tahun. Semua angan tertimbun sudah, melebur dengan sebuah kalimat, “Saya ingin keluar dari catur.”
“Baiklah.” Salah seorang perempuan pengurus menghela napas. “Saya rasa sudah jelas jika dari pihak Anda sudah memiliki tekad bulat, kami tidak akan memberikan Anda kesempatan lagi untuk berpikir, dan benar-benar akan menyelesaikan kontrak kami dengan Anda.” Tatapan tajamnya sempat tertutup dengan tatapan antisipasi, mungkin menunggu gue mengatakan hal lain dan berhenti memberi atensi pada kipas angin yang sekarang sudah berputar 608 kali. “Dengan berat hati, kami memberi kamu kesempatan untuk mengadakan konferensi pers tentang pengunduran dirimu secara baik-baik. Publik berhak tahu kalau atlet catur kebanggaan mereka sudah menanggalkan papan caturnya.”
“Oke.” Gue langsung bangkit berdiri meninggalkan ruangan sebagai isyarat sebuah perpisahan. Sebab, pagi ini terlalu baik untuk dihabiskan dengan menyesali sesuatu yang sudah telanjur terjadi. Satu per satu langkah gue meninggalkan cita-cita yang gue bangun bagaikan sebuah rumah. Hari kian hari, ingin gue tambah perabot di dalamnya. Waktu kian waktu, ingin gue tambah kekuatan untuk memperkokohnya.
Namun cita-cita gue runtuh, habis tanpa sisa. Hanya tersisa puing-puing ingatan tentang betapa banyak waktu yang gue habiskan untuk mencapainya. Lalu mereka pikir, cuma mereka yang kecewa.
“Kamu itu sebenarnya memikirkan masa depan kamu atau nggak sih, Tara?” Cita-cita sebenarnya sederhana kalau hanya kita yang berperan. Untuk sebagian orang, cita-cita jadi rumit karena itu tidak hanya jadi urusan diri mereka sendiri, tetapi juga orangtua. Dan kebetulan, gue termasuk dalam sebagian orang itu. “Kasih tahu Mami kamu kenapa, ada apa sampai kamu mutusin untuk keluar begini?”
Mami membesarkan gue dengan kedua tangannya. Bagi seorang perempuan, memiliki putri tunggal adalah titipan Tuhan yang perlu diemban dengan setiap tetes darah dan keringat. Kelak, seorang anak akan menjadi cerminan bagaimana seorang ibu menjalani nalurinya. Dan bagi Mami, gue harus membuat semua orang tahu betapa hebatnya dia sebagai seorang ibu, hanya dengan melihat gue. Gue dan piala gue. Gue dan gelar gue.
“Aku udah bilang, aku capek. Aku nggak mau main catur lagi, aku mau lihat kehidupan yang lain.”
“Omong kosong itu, Tara! Kamu sudah menjalani 14 tahun dan semuanya baik-baik aja. Papi dan Mami yang lebih tahu daripada kamu karena kamu anak kami!”
Sementara bagi seorang lelaki, lahirnya seorang anak ke dunia berarti membangun sebuah kerajaan baru. Hanya Papi sendiri yang tahu apakah dia pernah menginginkan seorang anak lelaki atau nggak. Tapi dia nggak pernah terlihat kecewa terhadap gue, sebab dia memastikan gue nggak pernah mengecewakannya. Kecuali hari ini.
Gue dibesarkan di keluarga keturunan Tionghoa-Jawa. Papi lahir dan besar di Singkawang, Kalimantan Barat, lalu meninggalkan kota itu untuk mengadu nasib di ibu kota. Lalu bertemu Mami, seorang wanita biasa asal Solo yang saat itu baru lulus SMK jurusan Tata Boga. Gue hampir buram soal cerita romansa mereka. Mungkin karena waktu gue habis oleh catur sampai-sampai gue nggak punya kesempatan untuk mendalami siapa kedua orangtua gue. Yang gue tahu hanya Papi akhirnya membangun usaha konveksi dan kain yang diwariskan Opa, lalu Mami turut serta membantunya. Pabrik besar itu ada di Singkawang, makanya mereka berdua cukup rutin bolak-balik ke sana tiap bulan untuk mengecek supaya kualitas barang yang diperdagangkan tetap baik bahkan meningkat.
Keadaan keluarga kami termasuk baik. Nggak pernah ada pertengkaran berarti, kecuali kalau itu menyangkut keluarga besar Papi yang selalu memperlombakan anak dan keponakan mereka cuma untuk tahu siapa yang lebih baik. Papi punya 7 saudara—4 laki-laki dan 3 perempuan. Gue lupa berapa jumlah anak dari masing-masing keluarga karena gue hampir nggak pernah membangun hubungan akrab dengan mereka. Tapi yang paling gue ingat, mereka semua nggak pernah menyukai gue. Karena menurut Papi dan Mami, gue adalah cucu Opa yang paling membanggakan, dan mereka semua iri dengan apa yang sudah gue capai. Jadi, mungkin sekarang kedua orangtua gue agak berkeras hati. Sebab dengan berhentinya gue dari catur, berhenti juga rasa iri keluarga besar mereka terhadap gue. Papi dan Mami jadi nggak memiliki seorang anak yang bisa dibanggakan lagi.
“Sekarang umur kamu sudah 22, mau cari kerja di mana? Astronomi? Orang mana di Jakarta yang buka lapangan kerja untuk lulusan Astronomi? Ini juga salah kamu, kenapa waktu itu kamu harus kuliah Astronomi segala! Lagi pula, Tara, kamu sendiri tahu kan nilai kamu juga nggak bagus? Kenapa sekarang malah nekat cuma karena ego sesaat? Kenapa kamu nggak diskusi sama Mami dulu?” Terus terang, gue sering tersinggung dengan perkataan orangtua gue melebihi perkataan orang lain. “Kalau kamu nganggur dan nggak dapat pekerjaan, orang-orang bakal nyukurin kamu! Nggak malu kamu? Apa nanti kata Oma? Tante Rita juga pasti akan ketawain Mami gara-gara kamu!” Mungkin saat kemarahan meluap, mereka terdengar lebih memikirkan apa kata orang lain dibanding perasaan anaknya sendiri.
Cuma sejak lama, gue menyisihkan semua ketersinggungan itu. Kalau diperinci, ada beberapa alasannya. Pertama, karena perjuangan gue di catur selama 14 tahun terakhir bukanlah perjuangan sendiri, melainkan perjuangan mereka yang membesarkan gue. Makanya, karena gue tahu reaksi mereka akan seperti ini, gue mengambil keputusan dan bertindak seorang diri sebelum memberi tahu mereka, supaya apa yang gue kehendaki sesuai. Kedua, karena apa yang mereka katakan benar.
“Papi kasih tahu, hidup itu tidak mudah. Hidup itu sulit Tara! Kalau begini saja kamu sudah menyerah, bagaimana nanti? Kamu sendiri sadar, tidak ada hal lain yang becus kamu lakukan selain catur!”
Gue memang nggak mampu melakukan apa pun dengan benar. Yang gue mampu hanyalah mengambil keputusan dengan kepala kosong. Ah, gue juga mampu menerima semua perkataan orang yang menyakitkan tentang gue tanpa sakit hati. Itu bisa menjadi talenta terbaik yang gue miliki selain catur.
“Ngomong terus terang sama Mami.” Gue masih menunduk, nggak ada keinginan menatap Mami sebelum dia melanjutkan, “Kamu keluar bukan karena Edwin, kan?”
Ya, ada beberapa hal yang masih sulit gue terima. Salah satunya adalah kepergian Edwin.
“Maaf, Pi. Maaf, Mi.” Nggak ada kata lain yang lebih baik daripada maaf untuk mengakhiri sebuah pertengkaran. Sama seperti kata maaf gue untuk Alden Keva Setrayasa keesokan harinya.
“Nggak tahu kenapa, aku lega kamu mutusin untuk istirahat dari catur.” Dia menjemput gue langsung dari kantor pusat Percasi di Senayan untuk membawa gue ke sebuah tempat pementasan seni bernama Komunitas Mahakata yang tepat berada di sebelahnya. Di tempat ini ada sebuah ruangan di lantai 4 berupa bioskop mini yang selalu menjadi tempat memutar film-film kesukaannya, termasuk filmnya sendiri—film yang tahun ini berhasil mendapat banyak penghargaan, baik nasional maupun internasional. Yasa memang nggak akan pernah membuat film jelek. Sayangnya, gue nggak sempat menonton film itu saat pertama kali ditayangkan karena harus berangkat ke Tromso bulan lalu. Itu yang membuatnya sedikit kesal dengan gue. Syukurlah, hari ini gue bisa menontonnya.
“Iya, aku udah nggak di catur lagi,” tutur gue sambil memperhatikan layar. Film ini berjudul Tanpa Judul. Ya, judulnya saja sudah menarik. Durasinya hanya 65 menit dengan dialog yang padat dan berisi, serta adegan-adegan dengan setting indah yang memperlihatkan kecantikan ibu kota pada malam hari.
“Waktu kamu juga jadi lebih banyak,” ucapan Yasa nggak ada yang salah. “Kamu bisa dateng tepat waktu ke premiere film aku. Kamu juga nggak perlu pergi ke Tromso sampai berbulan-bulan lagi. Kamu juga bisa ikut aku pas aku syuting di luar kota.”
“Hmm,” yang salah gue. Makanya gue setuju dengan semua perkataannya. “Yas, kamu tahu nggak kenapa aku pengen banget main catur dulu?” Gue menoleh dan Yasa langsung menatap gue sebelum menggeleng.
“Kenapa emang?”
“Karena ada bidak Raja dan bidak Ratu.” Yasa masih mencoba mencerna perkataan gue. “Karena bidak Ratu berjuang mati-matian supaya Raja nggak mati duluan.” Gue tersenyum menatap layar ketika film sudah hampir menuju akhir. “Because the reason why Queen exists... is the King. Queen should live for her King. Once the Queen dead, King would be dead too.”
Yasa lalu bertanya, “Ratu yang harus hidup buat Raja, atau Raja yang nggak bisa hidup tanpa Ratu?” Dua pilihan yang terdengar sama, tapi sesungguhnya punya arti berbeda. Sangat berbeda.
“Nggak dua-duanya,” gue menoleh dengan tatapan mendayu, tenang, seolah perpisahan ini adalah perkara mudah. “Ratu nggak harus selalu hidup buat Raja. Dan Raja… dia bisa tetap hidup meskipun tanpa Ratu.” Sama seperti hubungan gue dengan catur, hubungan gue dengan Yasa juga akan berhenti seperti seharusnya. “Ratu harus hidup untuk Raja, dan Raja yang nggak bisa hidup tanpa Ratu… itu cuma pilihan yang ada waktu mereka di papan catur.” Gue menatap Yasa dalam, dan saat itu dia hanya bungkam. “Di tempat lain, Ratu bisa hidup untuk dirinya sendiri. Dan Raja bisa tetap hidup karena dirinya sendiri. Ratu dan Raja cuma perlu sama-sama saat mereka di papan catur. Di tempat lain, mereka bisa jalanin hidup masing-masing.” Lalu pada akhirnya gue berkata, “Begitu juga kita, Yas.” Barulah Yasa tahu bahwa arah pembicaraan ini berbeda dengan yang dia perkirakan. “Kita bukan berada di papan catur lagi, dan artinya...” gue mengembuskan napas untuk melanjutkan, “kamu bukan Raja aku lagi.”
Diamnya Yasa cukup memudahkan gue untuk mengakhiri. Seperti yang sudah-sudah, gue memilih kata maaf untuk mengakhiri hubungan kami.
“Maaf, Yas.”