_1725432799.jpg)
Cinta di Bawah Tudung Saji
Apa misteri masa depan yang paling dikepoin kebanyakan orang? JODOH!
Nobel, Elgreen, Atira, dan Windy, empat cewek cantik yang bersahabat sejak SMA,
pernah diramalkan jodohnya oleh seorang kakek misterius lewat isi dulang makanan.
Akankah ramalan aneh itu menjadi kenyataan?
Author | : | Toni Pratama |
Price | : | Rp 79,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 204 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 X 19 |
ISBN | : | 9786230419904 |
Publication | : |
“Hai, guys! Jadi kan besok main ke rumahku?” Atira memulai percakapan di grup BBM.
Jam dinding berwarna oren yang tergantung di atas meja belajarnya yang juga bernuansa oren menunjukkan pukul 8 malam. Setiap hari jam segitu memang terjadwal sebagai “rapat” harian bersama anggota geng tercantik di jagat raya. Atira menelungkup di atas kasurnya yang empuk sambil memelototi layar BlackBerry Gemini-nya. Tebak apa warna se-prainya? Iya, betul sekali! Oren! Atira adalah pecinta oren garis keras. Gelarnya adalah Miss Oren.
“Jadi, dong! Masa makan gratis ditolak? Hahahaha!” Nobel langsung membalas dengan cepat.
“Aku sarankan, datangnya jangan kesiangan, ya! Biasanya ramai banget, lho! Bisa susah parkir entar kalau udah crowded.”
“Emang seberapa ramai? Kayak konser Coldplay?”
“Lebih malahan. Coldplay gabung sama Ayu Ting Ting. Kayak gitulah kira-kira. Hahaha...." celetuk Atira. Jarinya lancar mengetik pesan.
Kali ini dia membalikkan badannya dan bersandar di bantal yang ditegakkan di kepala ranjangnya. Bantal empuk lain diraihnya dan dijadikan tatakan tangan kurusnya. Tidak perlu tanya lagi kan warna sarung bantalnya? Yes! Benar 100%! Bahkan tidak perlu ada pilihan ganda.
“Wowww! Kebayang, sih. Aku tuh cuma khawatir sama si Elgreen. Dandannya bisa 3 jam. Pasang bulu mata kanan sejam, yang kiri sejam lagi. Padahal tuh mata diapain juga dak bakalan belo. Udah takdir dari sononya. Kecuali ditonjok rame-rame,” si Nobel mulai usil.
“Itu mah jadi bengkak, bukan belo!” Atira menimpali sambil tertawa kecil.
Sejujurnya, dia tidak pernah tertawa ngakak. Bahkan saat menonton komedi situasi sekelas Bajaj Bajuri, Office Boy, atau Tetangga Masa Gitu sekalipun, dia hanya tertawa kecil. Ya! Atira gadis yang elegan dan “ningrat”.
“Heeei, ngomongin aku, ya?” Si Elgreen baru menampakkan diri dalam percakapan daring itu.
“Iya, Princess Sya La La La! Atira udah ingetin kalau besok tuh jangan sampai kesiangan. Bisa-bisa parkirnya jauh di ujung kampung. Kamu mau jalan sambil angkat gaun Cinderella-mu itu?” Keusilan Nobel meningkat 10 persen.
“Aku dak pake gaun, lah. Aku kan Puteri Indonesia. Pake kebaya, dong! Selain cantik dan anggun, juga melindungi dari sinar UV. Jangan sampai kulit berkilauku ternoda radiasi matahari nan jahat.” Elgreen mulai menampakkan sifat aslinya—si merasa paling cantik!
“Tuh kan sok cantik! Pake kebaya yang payetnya bikin silau mata gitu?” Keusilan Nobel naik 10 persen lagi.
Hal ini bertolak belakang dengan si Nobel yang selalu tampil kasual. Nobel tidak suka ribet. Baginya, kecantikan itu adalah sesuatu yang alami. Saking mencintai kealamian, dia bahkan tidak tahu cara memasang bulu mata palsu. Koleksi bajunya tidak jauh dari yang namanya kaus. Ia penggemar kaus sejati.
“Ya gitu, deh. Penampilan itu utama. Cewek kan harus anggun dan memesona para insan manusia.” Elgreen kumat lagi.
“Tapi dak pake kebaya juga kaleee… ini kan bukan lagi Kartini-an. Entar kamu diculik alien kalau terlalu blink-blink. Dikira sandi morse dari temannya.” Keusilan Nobel makin menanjak.
“Bagus dong kalau diculik alien. Kan alien sekarang udah seganteng Kim Soo Hyun.” Si korban drama Korea merasa di atas angin.
“Alien model gitu cuma di My Love from the Star. Gimana kalau aliennya kayak di Predator? Mampus dak, tuh?” Nobel mengetik chat sambil cekikikan.
Berantem dengan Elgreen memang menjadi makanannya setiap hari. Ada-ada saja cekcok yang terjadi di antara mereka. Kapan ada masa gencatan senjata? Hanya di momen Lebaran tangan mereka saling berjabat. Setelah itu? Ya, perang lagi. Pertemanan antargadis katanya memang begitu. Manis-manis sadis. Puas rasanya saling “menusuk hati”. Tapi jika salah satunya sedang sakit atau nestapa, “musuh bebuyutan” itu akan berubah menjadi “dokter” terbaik. Yahhh… mirip Usagi dan Rei di serial cantik Sailor Moon, lah.
“Biarin! Pokoknya daku tetap pake kebaya kebanggaanku! Eh… mana si Windy? Masih hidup dak, tuh?” Elgreen baru menyadari bahwa ada satu member geng yang tidak merespons sejak tadi.
“Hadirrr! Aku mah nyimak aja.” Windy baru mulai nongol.
Si penyayang kucing itu memang gadis tersantuy di dunia. Tidak banyak bicara apalagi berteriak. Bahkan jika Kim Taehyung menggedor pintu rumahnya pun dia bakal hanya bilang “silakan masuk” dengan ekspresi ala lantai keramik—datar dan dingin.
Tapiii… jangan pernah meremehkan keahliannya. Windy bisa melukis wajahmu senyata hasil jepretan kamera digital tercanggih sekalipun. Sumpah! Ia sangat jago melukis. Sebuah lukisan sawah karyanya dipajang di ruang keluarga. Kita bahkan bisa menemukan setitik hama tersembunyi di antara padi yang menguning. Sangat detail dan mengagumkan! Kita juga bisa merasakan manis dari lukisan semangkanya. Pokoknya jangan memandang lukisan itu sebelum berbuka puasa! Bisa batal total! Sepertinya dia titisan Michelangelo Buonarroti.
Setelah dicolek di grup, Windy akhirnya menampakkan dirinya.
“Nah… nongol juga, tuh!” sahut Elgreen.
“Kirain udah almarhumah, hahaha….” timpal Nobel keterlaluan.
“Iya lah, Windy mah dak ganas kayak kamu. Cewek tuh ya, harus lemah lembut, keibuan, dan bisa dandan,” Elgreen melakukan serangan balik.
“Maksud kamu, aku bukan cewek gitu?” Pertempuran sengit pun terjadi.
“Cewek, sih. Cuma agak korslet dikit. Jadi testosteronnya lebih gitu.” Serangan Elgreen cukup mematikan.
“Awas, ya! Besok jangan merengek-rengek minta bantu jinjing tas kamu yang segede gaban itu!” Nobel balik mengancam.
“Ih, jangan, dong! Dirimu satu-satunya yang aku harapkan, wahai Nobel sang wanita perkasa!” Elgreen melunak.
“Tuh, kan! Dasar Princess! Apa sih isi tas sebesar itu? Penasaran aku!” hardik Nobel.
“Ada obeng, palu, sinso, dan gerinda. Puas? Ya alat make up, lah!” jawab Elgreen sekenanya.
“Ampun, deh! Bawa pensil alis sebanyak apa sih sampai berat kayak gitu?” Nobel masih penasaran.
“Aku bukan bawa pensilnya. Aku bawa pohonnya sekalian. Udah jangan protes! Besok bantuin Princess pokoknya!” perintah sang “tuan putri”.
“Ogah! Emang aku pembokatmu?” protes Nobel.
“Bukan sih, tapi budak Mesir. Aku kan Cleopatra,” ledek Elgreen belum puas.
“Guys! Udahan berantemnya! Mending tidur, besok bangun pagi-pagi biar dak kesiangan. Oke?” Windy si pecinta kedamaian sudah tak tahan dengan perseteruan alot itu.
“Setuju!” Atira menimpali.
“Baiklah! Tapi urusanku dengan si Cleopatra belum selesai. Besok aku buat perhitungan,” serangan Nobel mulai mereda.
“Boleh! Selamat berhitung. Satu, dua, tiga!” Elgreen me-respons tanpa dosa.
“Malam, guys! Sampai ketemu besok, ya!” Windy kabur duluan.
“Bye! Walamak!” Nobel menutup dengan jargon ke-bangga-an mereka.
“Forever!” Ketiga temannya kompak menyahut.

RECOMMENDED FOR YOU Explore More



