
Tengah Tengah
Maika selalu berada di tengah-tengah dunia.
Jadi anak tengah di keluarga besarnya, jadi penengah di setiap pertengkaran kawan-kawannya, tinggal di tengah kota yang sesak dengan banyak nyawa.
Di tengah-tengah mereka, Maika selalu menjadi di antara.
Ada atau tidak ada.
Dianggap atau tidak dianggap.
Tidak baik, tidak juga buruk.
Tidak senang, tidak juga menderita.
Tidak penting, tidak juga sia-sia.
Sedangkan Rio selalu berada di ujung.
Entah sebagai awal atau sebagai akhir.
Entah untuk menjadi dasar atau menjadi puncak.
Entah dimulai dari nol atau berakhir menjadi seratus.Ketika Rio mulai berpijak di awal untuk menuju akhir, Maika ada di tengah-tengahnya.
--
Tengah Tengah; /te·ngah/ tempat (arah, titik) di antara dua tepi (batas): sela-sela; antara (orang banyak, kumpulan, dan sebagainya).
Author | : | Valerie Patkar |
Price | : | Rp 135,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 448 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 X 19 |
ISBN | : | 9786230423260 |
Publication | : |
Jakarta, April 2024
RIO
“Sejak film Akhirnya Berakhir rilis empat tahun lalu, dan original soundtrack-nya yang kamu isi viral di mana-mana, semua orang langsung penasaran… Pram Dario tuh siapa, sih? Penyanyi bukan? Kalau iya penyanyi, kenapa nggak punya lagu sama sekali? Langsung deh, rasa penasaran publik semakin menjadi-jadi setelah film Unseen Heartbreak rilis tahun lalu. Bayangin, ini film dengan 7 juta penonton, nomor 3 dengan jumlah penjualan tiket terlaris sepanjang perfilman Indonesia. Berarti ada sekitar 7 juta orang juga yang menikmati suara kamu…. Setelah perjalanan panjang itu, gimana rasanya menjadi seorang komposer film yang bisa rilis album sendiri, Dario?”
Ada alasan kenapa Mustika Karim adalah salah satu presenter terbaik di saluran televisi MRN—Media Rajawali Nusantara, pertanyaannya selalu lugas dan berbobot, serta mampu menjawab rasa penasaran masyarakat.
“Hahaha,” gue menggelak tawa, bersandar dengan nyaman pada sofa sambil berpikir. “Hmm, dari awal saya emang nggak pernah kepikiran bikin lagu sendiri apalagi jadi penyanyi, sih. I really enjoy music because of movies.”
“Terus apa yang akhirnya membuat kamu berubah pikiran dan merilis album ini?”
Pertanyaan itu membuat gue terdiam beberapa detik.
“Judul albumnya Seribu Satu Matahari, sama seperti judul lagu utamanya. Semua orang bilang lagu ini bikin mereka ingin jatuh cinta lagi. Lagu yang dilahirkan dengan sangat baik. Nggak terlalu sedih, nggak terlalu ceria juga sehingga banyak yang menjadikan lagu ini teman untuk mereka dengar berulang kali setiap hari. Lagu yang bisa membuat banyak orang bisa merasakan beraneka macam perasaan, sampai tepat setelah satu minggu sejak perilisannya, lagu ini langsung masuk peringkat satu di Spotify Indonesia.”
Mbak Mustika menatap gue dengan senyum lebar di bibirnya.
“Ada alasan khusus nggak sampai kamu akhirnya mau muncul ke publik dengan lagu yang kamu nyanyikan sendiri, bukan untuk di balik layar film lagi?”
“Ada.” Gue meresponsnya tanpa ragu, sebab rangkaian kata udah muncul dengan begitu terstruktur di dalam kepala. “Saya nulis ‘Seribu Satu Matahari’ udah lama banget. Lima tahun lalu. Dan saya rasa, memang sekarang waktu yang paling tepat untuk menyanyikan lagu ini supaya ada banyak orang bisa mendengarnya…” gue menggantungkan kalimat gue sejenak sebelum merasakan sedikit sesak dari dalam dada sambil masih mempertahankan senyum gue. “Karena siapa tahu… satu dari mereka adalah orang yang jadi alasan kenapa lagu ini ada.”
Ada perubahan senyum yang muncul di raut wajah Mbak Mustika. Dari senyum yang penuh kesiapan untuk mendengar, menjadi sebuah senyum ketertarikan karena mendapatkan sebuah fakta. Sehingga dibanding mengajukan pertanyaan lain, dia memilih mendengarkan.
“Yang saya pengen sederhana sih sebenernya… saya pengen dia tahu lagu ini udah selesai. Dan sampai sekarang pun lagu ini masih tentang dia.”
Nggak menyangka gue akan mengatakan sesuatu yang personal seperti ini, Mbak Mustika terjebak dalam jeda beberapa detik sebelum mengatakan sesuatu yang gue yakin nggak pernah ada di lembaran skrip yang dia pegang sekarang.
“Saya yakin siapa pun itu, dia pasti akan mendengar ‘Seribu Satu Matahari’. Dan ketika dia mendengarnya, saya yakin dia pasti senang sekali bisa dirayakan oleh orang seperti kamu dalam sebuah lagu yang sangat indah.”
Semoga.
Meskipun gue nggak benar-benar yakin.
“Oke.” Mbak Mustika pasti masih memiliki banyak pertanyaan. Gue menghargai profesionalitasnya untuk tetap sesuai brief yang disampaikan Marhan sebelum gue setuju menghadiri wawancara eksklusif ini.
Privasi.
Gue minta privasi gue dihargai sehingga Mbak Mustika kembali ke topik mengenai musik dan karier, untuk meninggalkan semua yang berkaitan dengan masalah pribadi gue.
“Nah, sekarang ini kamu kan lagi fokus banget sama promosi single Seribu Satu Matahari... selanjutnya apakah ada bocoran nih yang bisa kamu bagi ke pemirsa? Misalnya, proyek film baru lagi mungkin? Semua orang pasti antusias menunggu proyek film di mana kamu yang akan menjadi komposer musiknya.”
Tawa kembali keluar dari mulut gue.
Ada, banyak.
Sayangnya, semuanya gue tolak.
“Nggak ada.”
Pada ucapan gue itu, senyum di bibir Mbak Mustika hilang.
Bukan hanya Mbak Mustika. Marhan yang datang menemani gue dan berdiri tepat di samping kameramen, manajer gue, dan beberapa staf United Music nggak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Memang.
Nggak ada satu pun dari mereka yang tahu.
Dan sesungguhnya, inilah alasan utama gue setuju menghadiri wawancara eksklusif ini.
“Seribu Satu Matahari akan jadi project terakhir saya. Ke depannya, nggak akan ada album baru atau project film yang akan saya terima lagi.”
Karena gue ingin semua orang tahu, gue nggak mau diganggu siapa-siapa lagi.
“Saya mau istirahat.”
Istirahat yang panjang, yang entah kapan berakhir.

Valerie Patkar
RECOMMENDED FOR YOU Explore More



