[Sandra]:
Kamu yang pake kemeja hitam?
Bram seketika menoleh ke arah pintu masuk restoran begitu mene rima notifikasi chat dari pasangan kencannya melalui aplikasi Kencan Kilat. Wanita yang berdiri di pintu masuk itu segera berjalan menghampiri Bram.
“Maaf, kamu… Bram?” tanya seorang wanita berpakaian jas warna krem dengan bawahan senada. Ram butnya diikat rapi. Hak sepatunya tidak terlalu tinggi. Setelah Bram lihat dari dekat, wajah n ya juga sama persis seperti yang ada di foto profil aplikasi Kencan Kilat. Wanita itu adalah Sandra.
Bram langsung mengulurkan tangannya lebih dulu. “Saya Bram. Macet di daerah mana?” kata Bram sambil mempersilakan wa nita itu duduk.
“Biasalah di Kuningan, toh jam-jam segini juga. Kantor saya nggak terlalu jauh dari sini, kok. Saya harap nggak bikin kamu terlalu lama nunggu,” kata Sandra dengan nada sungkan. Ini kencan pertama mereka, tentu wanita itu khawatir kalau meninggalkan kesan yang tidak baik.
“Nggak masalah. Lagian waktu kamu nge-chat bakal terlambat, saya baru markir mobil,” jelas Bram tenang, tapi jawaban itu terdengar mengambang.
Untuk memecahkan suasana canggung, Bram mempersilakan wa nita itu memesan makanan duluan. Kafe yang berada di tengah-tengah gedung perkantoran Kuningan ini rupanya tidak begitu ramai, terlebih jam makan siang begini, tidak banyak yang me ngunjungi kafe ini. Keduanya saling memesan menu-menu yang tertulis bahasa Inggris, meskipun sebenarnya lebih mudah mengucapkan menu-menu itu dengan “ayam bakar madu”, “nasi goreng bakso”, dan “dua es teh manis”.
Ini kencan pertama Bram setelah sekian lama. Pria itu berusaha sekali tidak tampak kaku dan bingung. Bram merasa perlu mencairkan suasana. Namun, belum lima menit berbincang tentang makanan yang dipesan, tiba-tiba ponsel Sandra berdering.
“Ini kamu lagi benar-benar senggang? Kalau nggak salah, akhir bulan begini banker lagi hectic banget, kan?” tanya Bram seusai Sandra mematikan sambungan teleponnya.
“Makanya saya pilih ketemuan di jam makan siang. Apalagi batas pertemuan dari Kencan Kilat cuma tersisa tiga hari dari waktu match, kan?”
Benar tebakan Bram, wanita ini sangat sibuk. “Oh, jadi saya ganggu, dong,” kata Bram enteng.
Sandra segera menggeleng cepat, “Nggak… kok. Nggak… kamu nggak ganggu saya. Teman kantor saya aja yang menelepon nggak tahu waktu.” Apabila Sandra menyalakan ponselnya di jam makan siang, Bram justru membiarkan ponselnya menyala dengan mode senyap sejak wanita itu tiba di restoran. Bram pikir jam makan siang yang hanya sejam—belum terpotong kemacetan—tentu sangat kurang untuk mengenal lebih jauh teman kencannya. Karena itu, dia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin, sampai-sampai dia memajukan jadwal monitoring proyek hari ini.
Mereka kembali mengobrol dengan topik pekerjaan masingmasing. Kali ini Sandra lebih mendominasi. Sandra bercerita saat ini dia bekerja di bank milik negara. Selama beberapa tahun terakhir, dia ditempatkan di divisi yang mengurus transaksi pembayaran gaji untuk beberapa instansi pemerintahan.
“Tapi sekarang kan pegawai pemerintah gajinya langsung masuk ke rekening. Jadi saya nggak terlalu pusing sama ini-itu lagi. Cuma biasanya ada potongan yang nggak sesuai atau gaji yang nggak kepotong. Ada beberapa instansi yang suka minta saya buat cross check lagi, dan biasanya itu hampir berbarengan. Jadi, coba bayangin betapa pusingnya,” jelas Sandra panjang lebar. Bram hanya mengangguk-angguk kecil. Sebenarnya dia memang tahu betapa repotnya kerja di bank, terlebih yang bukan berada di posisi terdepan seperti teller maupun customer service. Setidaknya, siang ini dia menyaksikan langsung salah satunya.
“Apalagi kalau satu instansi isinya berpleton-pleton manusia. Instansi pemerintah kan pegawainya ratusan bahkan ribuan, be ner nggak?” tanya Bram.
“Bukan cuma dari instansi pemerintah aja, sih. Kantor swasta juga banyak kok yang jadi klien di bank saya. Tadi pas kamu nyebutin kantormu, saya baru sadar ternyata kantormu juga kerja sama dengan bank tempat saya kerja. Walau sepertinya beda KCP, sih,” ujar Sandra.
“Oh, yang benar? Tapi saya juga ngga begitu ngeh, karena nggak terlalu ngurusin itu. Tahunya saya cuma notif dari m-banking aja,” jelas Bram sambil terkekeh. Dia tahu Jakarta memang sempit, tapi ternyata lebih sempit dari yang dia sangka.
“Yang notif m-banking-nya bunyi terus biasanya kantornya lahan basah, nih,” canda Sandra meskipun benar adanya. Namun, Bram malah menggeleng cepat.
“Basah sama air mata? Malah tempat kerjamu yang basah,” ucap Bram.
Gantian Sandra yang menggeleng. “Basah? Basah karena langga nan banjir sih, iya,” sungutnya. “Tapi kalau dibilang tempat basah sih nggak juga, soalnya kerjaan saya kan nggak jauh-jauh dari ngehitungin duit orang, boro-boro ngehitungin duit sendiri,” canda Sandra. Kalau wanita itu menghitung uang, Bram menghitung struktur bangunan. Toh, sebenarnya sama saja, sama-sama menghitung, tapi rumusnya berbeda. “Ngomong-ngomong, kok, saya malah jadi parno, ya. Janganjangan kamu pernah ngitungin duit saya—cicilan dan utang-utang saya gitu. Eh, tapi nggak deh, untung kantor cabangnya beda, ya.”
Tawa Sandra pecah mendengar ucapan Bram yang lari ke sana kemari. “Udah nggak heran sih sama habit cicil-mencicil ini. Apalagi buat rumah atau mobil,” ujar Sandra.
“Sama buat nikah dan bikin resepsi gede-gedean, tuh. Yang masih muda dan masa pensiunnya masih lama pasti banyak banget tuh yang ngajuin pinja man,” tambah Bram yang sontak men dapatkan gelak tawa Sandra. Bagaimanapun, Sandra akui hal itu tidak bisa dibantah.
“Namanya juga momen sekali seumur hidup, amit-amit cerai, ya. Asal mampu bayar cicilannya, ya nggak apa-apa. Toh everybody’s happy, right?” Sandra mengangguk setuju.
“Sama buat renov rumah, tuh. Kadang ada aja keinginan buat bagusin halaman belakang, atau bikin dua tingkat, atau gedein parkiran mobil. Kalau yang satu ini pasti hobi kamu banget, kan?”
Kali ini Bram mengangguk setuju.
“Wajar, sih. Apalagi buat orang berusaha dari nol. Itu biasanya jadi bukti pencapaiannya. Toh, salah satu cara nikmatin penca paian, ya, bisa hidup tenang di rumah yang nyaman,” ujar Bram mengemukakan pendapatnya. “Barusan saya seperti tamu undangan podcast yang sangat inspiratif, ya?” lanjutnya sambil terkekeh. “Lebih mirip pembicara di acara seminar kesuksesan, sih,” canda Sandra. “Saya tebak sekarang kamu udah hidup tenang di rumah yang nyaman.”
“Ngga bisa dibilang gitu, sih. Soalnya rencana buat renov rumah ya baru sebatas rencana,” kata Bram mengawang. Sebenarnya dia memang ingin merenovasi samping rumahnya untuk dijadikan gudang, walau entah kapan akan terlaksana. “Kalau buat ngerenovasi rumah tuh paling nggak sekitar 200 juta nggak, sih? Rata-rata pada ambil di angka segitu. Kalau ngajuin di bank, ada untungnya juga, soalnya suku bunganya kecil untuk jangka waktu satu sampai lima tahun. Ada cashback-nya lagi,” jelas Sandra panjang lebar.
Tiba-tiba ponsel Sandra kembali berdering, ada telepon masuk. “Maaf banget, harus saya angkat,” kata Sandra sungkan.
Bram mempersilakan wanita itu untuk mengangkat panggilan masuk. Bram menyesap teh hijau di hadapannya, pura-pura tidak meng hiraukan wanita yang sedang menyebutkan nama seseorang serta kata potongan, gaji, dan cicilan nol persen. Cukup dua menit hingga akhirnya wanita itu kembali menutup ponselnya.
“Duh, maaf ya, Bram. Saya jadi nggak enak dari tadi ada telepon dari atasan,” kata Sandra. Bram sekali lagi mengatakan tidak apaapa.
“Saya maklum, kok. Namanya juga dikejar deadline. Kalau sampai gaji nunggak kan saya yang terancam,” canda Bram, sambil tertawa bersama.
Seolah teringat obrolan sebelumnya, “Oh iya. Kalau kamu mau mengajukan pinjaman, sekarang lagi ada promo potongan 0% untuk lima bulan pertama, lho. Bunga pada bulan keenam juga rendah, cuma 0,65%. Kalau kamu berminat, nanti saya bisa bantu urus. Yang penting kamu udah jadi nasabah bank saya dan ada slip gaji, kamu sudah lolos dua syarat awal.”
“Oh, ya?”
Perbincangan selanjutnya akan lebih terdengar seperti penawaran pinjaman. Bram perlahan menyadari sedari awal Sandra memang lebih mengincar dirinya sebagai nasabah, ketimbang teman kencan yang ingin saling mengenal.
“Iya, baru-baru ini khusus kredit tanpa agunan bunganya lumayan, lho. Siapa tahu kamu ada rencana mau mulai bisnis sendiri. Hitung-hitung buat pegangan hari tua. Oh, iya, minggu depan juga mau ada launching produk emas digital,” jelas Sandra pada penawaran kedua dan ketiga.
“Oh, ya? Saya ada bisnis kecil-kecilan, sih. Cuma belum ada rencana untuk buka tempat. Sekarang masih nebeng teman,” ungkap Bram. “Semacam bagi hasil?” tanya Sandra, mencoba menebak-nebak bisnis apa yang dijalankan Bram. “Bisa dibilang begitu sih, tapi lebih pas dibilang kalau saya semacam nitip di lahannya.” Bram bingung sendiri memilih katakata untuk menggambarkan bisnisnya saat ini.
“Kalau ada rencana boleh tuh coba buka lahan sendiri, siapa tahu kan cuannya lebih gede, milik sendiri pula. Kamu bisa kok nanya-nanya syarat sama cicilannya, nanti tinggal disesuaikan dengan proposal bisnisnya. Saya bakal bantu.”
Obrolan keduanya pada topik yang memang sudah disetir dan didominasi Sandra ini mengalahkan lama pesanan mereka tiba di meja. Bram sudah tidak bisa fokus pada penjelasan Sandra tentang uang, cicilan, bunga, dan lainnya. Hingga dirinya disadarkan oleh kalimat pamungkas Sandra yang menutup obrolan siang itu.
“Kalau kamu butuh pengajuan dana, hubungi saya.”
(Halaman 8-14)