Takdir. Ah, benar juga. Kalau aku kembali ke 2015, aku hanya akan mengulang cerita dan menambahkan sedikit pemerannya. Sejenak, terlintas kata-kata Alisa di Bandung kemarin, “Mesin waktu bisa merusak space and time, ataupun takdir yang semestinya terjadi. Bisa saja nanti kamu di sana bertemu hingga 10 dirimu, Yas.”
Pagi ini, aku bangun dari tempat tidur dan memilih tidak memikirkan hal itu lagi. Setelah mandi, aku keluar kamar dan bertemu Putri.
“Pagi, Kak.”
“Pagi juga.”
“Rava katanya mau ke sini,” ucap Arvi saat aku hendak duduk di meja makan.
“Ngapain?” tanya Putri.
“Biasa, berkunjung. Mau main bulu tangkis di tempat Ayah dulu. Tapi, bukannya hari ini hari penting. Nggak tahu juga tujuan sebenarnya apa,” jelas Arvi.
“Hmm, apa… mungkin… dia… akan jemput kamu, Kak?” tanya Putri sambil makan.
“Kunyah dulu makananmu, baru ngomong cintaaa,” gerutu Arvi.
“Emang dia kenal aku?” tanyaku.
“Nggak, aku nggak pernah menceritakan apa pun tentang Kakak. Arvi aja baru tahu aku punya kakak beberapa hari setelah nikah,” jelas Putri.
“Dia benar,” seru Arvi.
Kami bertiga melanjutkan makan masakan Putri. Semua terlihat mewah, enak, dan sehat. Putri pun memasak makanan kesukaanku, yaitu nasi kuning dengan telur yang dipotong-potong di sampingnya.
Ting! Tong!
Bel tiba-tiba berbunyi di tengah obrolan kami.
“Sebentar!” teriak Arvi sambil bangun dan berjalan menuju pintu.
“Ehm, Kak, kalau ini Rava, mau nggak sembunyi dulu,” pinta Putri.
“Kamu mau mengerjainya?” tanyaku.
“Sepertinya,” kata Putri.
“Boleh, boleh,” ucapku sambil bangun dan membawa piringku.
Aku pun segera mengendap-endap ke belakang tembok dan mulai menguping pembicaraan mereka di ruang makan.
“Ayo, Rav, masuk. Putri masak nasi kuning, tuh,” sapa Arvi.
“Boleh, boleh,” balas Rava atau lelaki fedora.
“Sibuk apa sekarang?” tanya Arvi.
“Aku sedang mengurus talkshow mengenai para penumpang CJ470. Bayangkan, mereka terjebak dalam kebingungan karena masuk awan magnetis atau apalah itu dan keluar di tahun 2040,” cerita Rava.
“CJ470 mengingatkanku bahwa ada yang hilang di 2015-an?” gurau Putri yang terdengar jelas dari nada ucapan buatannya.
“Yes, mereka sangat menyedihkan. Mereka mau ke Jakarta di tahun 2015, berlibur atau pulang kampung. Tapi tiba-tiba, mereka sampai di waktu dan menurutku juga tempat yang berbeda total. Dan kamu tahu? Ada satu penumpang yang malah ikut menyelidiki keanehan atau keabnormalan peristiwa ini,” jelas Rava.
“Siapa dia?” tanya Arvi dan Putri dengan kompak pura-pura kebingungan.
“Ilyas,” seru Rava.
“Ya, kenapa?” kataku sambil muncul dari belakang tembok.
Rava terlihat kaget dengan kemunculanku. Suasana berubah hening.
“Ilyas! Kenapa kamu ada di rumah keluargaku? Apa kamu mengikutiku?” tanya Rava dengan menaikkan volume suara sambil berdiri dari tempat duduk.
“Takdir. Why takdir? Karena keluargamu adalah keluargaku juga,” jawabku.
“Apa buktinya?” tanya Rava dengan menaiki dagunya.
“Putri itu adik kandungku. Lihat tanda lahir kami!” balasku sambil menunjukkan garis tangan kami yang berbeda dari setiap orang. Terdapat garis melintang tambahan yang warnanya sama dengan tiga garis utama, tepatnya berada di bawah jempol.
“Sudah jam 10, aku harus ke studio sekarang,” ucap Rava seakan membuang makanan buatan Putri.
“Kenapa buru-buru? Apakah kehadiranku salah?” tanyaku merujuk pada Rava yang sepertinya menghindar.
“Easy, Kak,” tegur Putri.
Suasana di ruang makan berubah tegang. Tatapan mata antara aku selaku korban kerusakan ruang dan waktu dengan seorang moderator yang menutupi identitas diri di balik topi fedora. Aku beruntung karena Putri memberi tahu siapa orang di balik topi fedora, sehingga aku bisa menangani keadaan. Kini, Rava hanya terdiam di depanku untuk memahami keadaan. Sesungguhnya ruang dan waktu 2040 ini sungguh menarik.
“Well, mari kita lanjutkan makan dan melupakan segala permasalahan. Di sini, bukan tempat yang tepat,” kata Rava tersenyum kepadaku sebelum akhirnya kembali menikmati hidangan siang itu.
Perbincangan setelah itu seakan terhenti. Hanya suara alat makan yang terkena piring atau suara kecapan mengunyah makanan. Ketegangan masih berlangsung, tetapi aku setuju dengan keputusan Rava untuk tidak membawa suatu topik di tempat yang salah.
“Aku pamit dulu,” kata Rava saat makan siang telah usai.
Rava meninggalkan rumah dan Putri mengantarnya ke depan rumah. Setelah mengantar kepergian Rava, Putri langsung menghampiriku yang masih duduk di meja makan. Aku menghela napas saat dia secara perlahan duduk di sampingku. Secara perlahan dia memegang tanganku. “Kalian berdua akan saling memahami.”
(Halaman 98-102)